Sunday 10 November 2013

Autisme pada Anak Usia 2-5 Tahun


     Istilah autisme berasal dari kata “autos” berarti diri sendiri dan “isme” berarti paham atau aliran. Autisme berarti paham yang membahas individu yang hanya tertarik pada dunianya sendiri. Autis merupakan gangguan perkembangan yang menyangkut komunikasi, imajinasi, perilaku, dan emosi anak (Malik, Mualifah, & Sunarti, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), autisme berarti gangguan perkembangan yang mengakibatkan anak tidak dapat mengomunikasikan dan mengekspresikan keinginannya dengan baik.
    Sebagian besar penderita autisme mengalami keterlambatan mental, sedangkan sebagian lainnya merupakan orang yang jenius. Gangguan autisme biasanya disertai gangguan psikiatrik lain, seperti sindrom Tourettes, obsesif-kompulsif, dan bipolar. Pada beberapa kasus, perilaku penderita autisme ringan menyerupai penderita gangguan kepribadian, seperti schizoid, obsesif, eksentrik dan tidak wajar. (Maulana, 2007).

Gejala-gejala Autisme
     Anak-anak penderita autisme lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi dengan lingkungannya. Mereka tidak mampu menjalin persahabatan, merasa empati, dan memahami orang lain. Mereka cenderung menyibukan diri dengan bermain bersama benda-benda mati. Anak autis mengalami kesulitan memusatkan perhatian dan mengontrol emosi, sehingga cenderung melukai dirinya sendiri (Maulana, 2007).
     Ketika anak balita mulai belajar bicara, anak autis tidak memperlihatkan perkembangan bahasa yang wajar. Mereka cenderung menyanyikan musik yang sering didengar atau menirukan kata-kata yang sering diucapkan orang lain secara tidak tepat. Mereka juga senang melakukan gerakan aneh yang diulang-ulang, seperti berputar-putar dan menggoyang-goyangkan badannya secara ritmis. Sikap mereka sangat cuek dan sulit ditebak. Mereka juga sulit dibujuk dan dirayu, bahkan oleh orangtuanya sendiri (Maulana, 2007).

Ciri-ciri Anak Autis
     Ciri khas anak autis, yaitu (a) tidak mengerti maksud orang lain, (b) memiliki daya ingat yang kuat, (c) sulit memahami kalimat, dan (d) sulit mengekspresikan perasaannya. Mereka memiliki gangguan dalam berkomunikasi, seperti perkembangan bahasa yang lambat. Mereka cenderung menggunakan kata-kata yang tidak sesuai artinya, bahkan beberapa anak autis jarang berbicara (Malik et al., 2010).

Penyebab Anak Autis
     Verauli (2006) berpendapat bahwa pada dasarnya, anak yang mengalami keterbelakangan mental juga tumbuh berkembang dan memerlukan afeksi seperti anak normal. Perbedaannya adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental lebih sulit mempelajari atau menguasai sesuatu. Beberapa penyebab anak autis, yaitu faktor genetik dan pengaruh neurobiologis.
     Faktor genetik. Salah satu kondisi keterbelakangan mental yang paling umum adalah abnormalitas kromosom, misalnya down syndrome atau trisomy 21. Sindrom ini terjadi karena kegagalan sepasang kromosom ibu untuk berpisah. Hal ini mengakibatkan kelebihan kromosom pada anak. Ciri fisik penderita down syndrome, yaitu (a) tengkorak kecil, (b) lidah besar tapi mulut kecil, dan (c) bentuk mata seperti buah almond (Verauli, 2006).
     Pengaruh neurobiologis. Kondisi biologis yang memengaruhi perkembangan janin dan bayi, antara lain (a) malnutrisi, (b) terkena zat beracun, dan (c) terjadi tekanan sebelum dan saat kelahiran. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan tingkat inteligensi anak rendah dan mengakibatkan keterbelakangan mental. Selain itu, trauma dan infeksi virus saat kehamilan dan kelahiran juga mengakibatkan keterbelakangan mental. Hal lain yang mengarah pada keterbelakangan mental adalah (a) penggunaan obat-obatan tertentu saat hamil, (b) sinar X, (c) tekanan mekanik pada kepala bayi saat proses kelahiran, dan (d) anoxia saat kelahiran (Verauli, 2006).

Penanganan Anak Autis Usia 2-5 Tahun
     Anak autis seharusnya ditangani sejak dini agar memperoleh hasil terapi yang baik (Handojo, 2009). Perlakuan pada anak sebaiknya disesuaikan dengan bakat yang dimiliki anak (Lombe, 2007). Penanganan anak autis usia 2-5 tahun dilakukan dengan (a) menerapkan metode ABA, (b) masuk kelompok khusus, dan (c) memberi terapi-terapi yang sesuai.
     Metode Applied Behavioral Analysis (ABA). Pendekatan metode ABA dilakukan dengan memberikan kehangatan, arahan secara tegas tapi lembut, dan memberikan apresiasi dengan imbalan. Metode ABA dilakukan dengan membentuk kepatuhan, membentuk Kontak Mata (KM), mengajarkan kemampuan meniru, dan kemampuan membantu diri. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengajarkan kemampuan bahasa reseptif (kognitif), kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan pra-akademik, dan kemampuan akademik (Handojo, 2009).
     Masuk kelompok khusus. Anak autis berbeda dengan anak kebanyakan sehingga memerlukan perlakuan khusus, seperti masuk Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB merupakan lembaga sosial yang berfungsi membantu anak yang memiliki hambatan fisik maupun psikis untuk berkembang dan merasa berarti. SLB memperlakukan dan mendampingi muridnya secara personal karena setiap murid memiliki tingkat dan jenis keberbakatan yang berbeda. Pendekatan personal yang sesuai kebutuhan anak akan memberikan anak kesempatan untuk bereksplorasi dan bereksperimen (“Kudidik diriku demi mendidik anakku,” 2007).
     Pemberian terapi. Beberapa jenis terapi yang harus dijalankan, yaitu: (a) terapi medikamentosa, dengan menggunakan obat-obatan untuk memperbaiki komunikasi, respon terhadap lingkungan, dan gejala-gejala yang tidak wajar; (b) terapi wicara, dengan memperbaiki kesulitan bicara anak; (c) terapi perilaku, dengan mengubah perilaku tidak umum menjadi perilaku yang sesuai dengan lingkungan; dan (d) terapi okupasi, dengan membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot halus terampil (Maulana, 2007).
     Belajar dengan bermain. Anak autis sangat menyukai permainan sehingga metode belajar sambil bermain akan lebih efektif. Permainan yang dimainkan harus mengikuti standar tertentu agar selain bermain, anak autis juga melakukan olahraga dan mempertajam sensori integrasi (Malik et al., 2010).

Simpulan
     Autisme berarti gangguan perkembangan yang mengakibatkan anak tidak dapat mengomunikasikan dan mengekspresikan keinginannya dengan baik (KBBI, 2008). Penderita autisme mengalami keterlambatan mental atau merupakan orang yang jenius. Beberapa perilaku penderita autisme menyerupai penderita gangguan kepribadian.
     Sebagian besar penderita autisme mengalami keterlambatan mental, sedangkan sebagian lainnya merupakan orang yang jenius. Gangguan autisme biasanya disertai gangguan psikiatrik lain, seperti sindrom Tourettes, obsesif-kompulsif, dan bipolar. Pada beberapa kasus, perilaku penderita autisme ringan menyerupai penderita gangguan kepribadian, seperti schizoid, obsesif, eksentrik dan tidak wajar. (Maulana, 2007).
     Gejala anak-anak penderita autisme ditandai dengan suka menyendiri dan senang melakukan gerakan aneh, seperti berputar-putar dan menggoyang-goyangkan badannya secara berirama. Mereka sulit memusatkan perhatian dan mengontrol emosi sehingga cenderung melukai diri sendiri. Sikap anak autis sangat cuek, mereka sulit ditebak dan dibujuk, bahkan oleh orangtuanya.
     Ciri-ciri anak autis adalah memiliki gangguan dalam berkomunikasi, seperti perkembangan bahasa yang lambat dan penggunakan kata-kata yang tidak sesuai artinya. Bahkan, beberapa anak autis jarang berbicara. Pada dasarnya, anak yang mengalami keterbelakangan mental juga tumbuh berkembang seperti anak normal, tetapi mereka sulit mempelajari atau menguasai sesuatu.
     Penyebab keterbelakangan mental yaitu faktor genetik dan pengaruh neurobiologis. Faktor tersebut diakibatkan oleh gen dan kondisi biologis ibu sejak kehamilan hingga kelahiran. Penanganan anak autis seharusnya dilakukan sejak dini, agar dapat diperoleh hasil yang baik. Perlakuan pada anak sebaiknya disesuaikan dengan bakat dan potensi yang dimiliki sang anak. Penanganan anak autis usia 2-5 tahun dapat dilakukan dengan menerapkan metode ABA, masuk kelompok khusus, dan memberi terapi-terapi yang sesuai.

Saran
      Anak autis pada dasarnya sama dengan anak normal, hanya saja mereka lebih lambat dalam mempelajari sesuatu. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak menjauhi dan menjelek-jelekan anak autis. Kita seharusnya bersyukur karena telah diberi hidup normal yang baik.
     Untuk orangtua yang memiliki anak autis, sebaiknya menerima dan mendukung penanganan anak, menyayangi dan memotivasi anak, dan tidak memaksakan kehendak untuk memperlakukan anaknya secara normal. Para calon ibu lebih baik tidak mengonsumsi obat-obatan dan lebih menjaga kandungan. Selain untuk terapi anak autis, sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan anak.



Daftar Pustaka

Handojo, Y. (2009). Metode ABA basic. Dalam M. Samuel (Ed.), Autisme pada anak: Menyiapkan anak autis untuk mandiri dan masuk sekolah regular dengan metode ABA basic (h. 1-40). Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Lombe, M. (Ed.). (2007). Kudidik diriku demi mendidik anakku. Malang: Dioma.
Malik, B., Mualifah, U., & Sunarti, H. (2010). Laporan penelitian olahraga anak autis di sekolah laboratotium autism UM (Laporan penelitian). Diunduh dari Universitas Negeri Malang: https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CC0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fcholip.files.wordpress.com%2F2010%2F06%2Flaporan-penelitian-kegiatan-olahraga-anak-autis-di-sekolah-laboratorium-autisme-um.doc&ei=m8J7UsaZCYGTrgfhooC4DA&usg=AFQjCNHD_lBjJVy5aZPEdsLPwxCw8rYSpg&sig2=e0MFQ7RIvr6ys45tnARsyg&bvm=bv.56146854,d.bmk
Maulana, M. (2007). Autisme dan permasalahannya. Dalam I. Muhsin (Ed.), Anak autis: Mendidik anak autis dan gangguan mental lain menuju anak cerdas dan sehat (h. 11-50). Yogyakarta: Katahati.
Sugiono, D. (Ed.). (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Verauli, R. (2006). Reorientasi pemahaman terhadap keterbelakangan mental. Dalam S. D. Gunarsa (Ed.), Dari anak sampai usia lanjut: Bunga rampai psikologi perkembangan (h. 141-163). Jakarta: Gunung Mulia.

Friday 1 November 2013

Disharmoni Keluarga

Definisi Keluarga
        Keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling terhubung (Salvicion & Celis, dikutip dalam Baron & Byrne, 2003). Anggota keluarga terhubung karena hubungan darah dan status perkawinan. Anggota keluarga berada dalam suatu rumah tangga dan saling berinteraksi untuk menciptakan dan mempertahankan kebudayaan.
        Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ayah berperan untuk mencari nafkah dan menjadi kepala rumah tangga. Ibu berperan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, dan merawat suaminya. Anak berperan untuk mengasihi, menyayangi, dan mematuhi nasihat orangtuanya. Dalam hal mengasuh anak, orangtua berperan agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang pandai dan bermartabat.
        Definisi keluarga disharmoni. “Disharmoni adalah ketidakselarasan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], 2008). Ketidakselarasan ini menyatakan perasaan, tindakan, ide, dan keinginan seseorang terhadap sesuatu. Keluarga disharmoni adalah kegagalan beberapa anggota keluarga dalam menjalankan kewajibannya (Goode, 1991). Jadi, keluarga disharmoni adalah keretakan dalam rumah tangga yang disebabkan karena anggota keluarganya melanggar kewajibannya.

Penyebab Keluarga Disharmoni
        Beberapa penyebab keluarga disharmoni adalah (a) hilangnya rasa cinta, (b) tidak ada rasa percaya, (c) tidak jujur, dan (d) tidak saling setia.
        Hilangnya rasa cinta. Cinta mempunyai arti yang luas, seperti cinta terhadap keluarga, pasangan, teman, peliharaan, dan lain-lain. Dalam keluarga disharmoni, cinta yang dulu ada mulai hilang. Hal ini disebabkan karena cinta tersebut tidak dirawat dengan baik sehingga individu merasa tidak mendapatkan cinta seperti dulu.
        Tidak ada rasa percaya. Dalam membangun hubungan yang baik, dibutuhkan rasa percaya antarindividu. Tanpa rasa percaya, individu akan merasa tidak dihargai. Dalam keluarga disharmoni, biasanya anggota keluarga tidak saling menanamkan rasa percaya sehingga menyebabkan pertengkaran.
        Tidak jujur. Kejujuran sangat dibutuhkan dalam suatu hubungan.  Jika salah satu anggota keluarga tidak jujur, hubungan antarkeluarga akan menjadi retak. Hal tersebut terjadi karena apabila individu tidak jujur, individu lain akan merasa tersakiti, tidak dipercaya, atau bahkan tidak dibutuhkan. Tidak jujur dalam suatu hubungan juga membuat kepercayaan yang sudah ada menghilang yang pada akhirnya menyebabkan pertengkaran.
        Tidak saling setia. Setiap individu pasti sangat mengharapkan pasangannya untuk setia. Tanpa kesetiaan, individu akan malas untuk berhubungan. Dalam keluarga disharmoni, biasanya kesetiaan tersebut menjadi retak karena salah satu pasangannya selingkuh. Perselingkuhan menyebabkan hati pasangannya yang lain kecewa dan tersakiti. Pada akhirnya tidak setia menyebabkan pertengkaran yang mengarah ke perceraian.
Dampak Keluarga Disharmoni
        Terhadap anak-anak. Anak-anak yang sering melihat orangtuanya bertengkar akan merasa bersalah. Hal tersebut terjadi karena mereka mungkin merasa bahwa merekalah penyebab orangtuanya bertengkar. Biasanya, anak-anak tersebut juga kurang mendapat perhatian karena orangtuanya lebih mementingkan perasaannya sendiri daripada mengurus mereka. Pada akhirnya, anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, pendendam, bahkan mungkin antisosial.
        Terhadap keluarga besar. Pertengkaran yang terjadi antarpasangan akan mempermalukan keluarga besarnya. Hal ini disebabkan karena pasangan tersebut mungkin saja diperbincangkan orang banyak dan mungkin akan melibatkan keluarga besarnya. Keluarga besarnya juga akan membantu pasangan tersebut menyelesaikan masalah mereka sehingga pada akhirnya akan merepotkan keluarga besarnya juga.

Solusi
             Salah satu solusi untuk mengatasi keluarga disharmoni adalah dengan komunikasi yang baik. Komunikasi akan meningkatkan rasa kepercayaan antarkeluarga. Dengan komunikasi, anggota keluarga akan saling berinteraksi dan menyebabkan rasa kebersamaan. Mereka juga akan merasa diperhatikan karena masih ada komunikasi. Mereka juga merasa tenang karena sudah saling mendapat kabar.


Daftar Pustaka

Baron, R. A., & Bryne, D. (2003). Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga.
Gramedia Pustaka Utama. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Penulis.

Goode, W. J. (1991). Sosiologi keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.