Istilah
autisme berasal dari kata “autos” berarti diri sendiri dan “isme” berarti paham
atau aliran. Autisme berarti paham yang membahas individu yang hanya tertarik
pada dunianya sendiri. Autis merupakan gangguan perkembangan yang menyangkut
komunikasi, imajinasi, perilaku, dan emosi anak (Malik, Mualifah, &
Sunarti, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), autisme
berarti gangguan perkembangan yang mengakibatkan anak tidak dapat mengomunikasikan
dan mengekspresikan keinginannya dengan baik.
Sebagian
besar penderita autisme mengalami keterlambatan mental, sedangkan sebagian lainnya
merupakan orang yang jenius. Gangguan autisme biasanya disertai gangguan
psikiatrik lain, seperti sindrom Tourettes, obsesif-kompulsif, dan bipolar.
Pada beberapa kasus, perilaku penderita autisme ringan menyerupai penderita
gangguan kepribadian, seperti schizoid,
obsesif, eksentrik dan tidak wajar. (Maulana, 2007).
Gejala-gejala Autisme
Anak-anak penderita autisme lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi dengan lingkungannya. Mereka tidak mampu menjalin persahabatan, merasa empati, dan memahami orang lain. Mereka cenderung menyibukan diri dengan bermain bersama benda-benda mati. Anak autis mengalami kesulitan memusatkan perhatian dan mengontrol emosi, sehingga cenderung melukai dirinya sendiri (Maulana, 2007).
Anak-anak penderita autisme lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi dengan lingkungannya. Mereka tidak mampu menjalin persahabatan, merasa empati, dan memahami orang lain. Mereka cenderung menyibukan diri dengan bermain bersama benda-benda mati. Anak autis mengalami kesulitan memusatkan perhatian dan mengontrol emosi, sehingga cenderung melukai dirinya sendiri (Maulana, 2007).
Ketika
anak balita mulai belajar bicara, anak autis tidak memperlihatkan perkembangan
bahasa yang wajar. Mereka cenderung menyanyikan musik yang sering didengar atau
menirukan kata-kata yang sering diucapkan orang lain secara tidak tepat. Mereka
juga senang melakukan gerakan aneh yang diulang-ulang, seperti berputar-putar
dan menggoyang-goyangkan badannya secara ritmis. Sikap mereka sangat cuek dan
sulit ditebak. Mereka juga sulit dibujuk dan dirayu, bahkan oleh orangtuanya
sendiri (Maulana, 2007).
Ciri-ciri Anak Autis
Ciri
khas anak autis, yaitu (a) tidak mengerti maksud orang lain, (b) memiliki daya
ingat yang kuat, (c) sulit memahami kalimat, dan (d) sulit mengekspresikan
perasaannya. Mereka memiliki gangguan dalam berkomunikasi, seperti perkembangan
bahasa yang lambat. Mereka cenderung menggunakan kata-kata yang tidak sesuai
artinya, bahkan beberapa anak autis jarang berbicara (Malik et al., 2010).
Penyebab Anak Autis
Verauli (2006) berpendapat bahwa pada dasarnya, anak yang mengalami keterbelakangan mental juga tumbuh berkembang dan memerlukan afeksi seperti anak normal. Perbedaannya adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental lebih sulit mempelajari atau menguasai sesuatu. Beberapa penyebab anak autis, yaitu faktor genetik dan pengaruh neurobiologis.
Verauli (2006) berpendapat bahwa pada dasarnya, anak yang mengalami keterbelakangan mental juga tumbuh berkembang dan memerlukan afeksi seperti anak normal. Perbedaannya adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental lebih sulit mempelajari atau menguasai sesuatu. Beberapa penyebab anak autis, yaitu faktor genetik dan pengaruh neurobiologis.
Faktor genetik. Salah satu
kondisi keterbelakangan mental yang paling umum adalah abnormalitas kromosom,
misalnya down syndrome atau trisomy 21. Sindrom ini terjadi karena
kegagalan sepasang kromosom ibu untuk berpisah. Hal ini mengakibatkan kelebihan
kromosom pada anak. Ciri fisik penderita down
syndrome, yaitu (a) tengkorak kecil, (b) lidah besar tapi mulut kecil, dan
(c) bentuk mata seperti buah almond (Verauli, 2006).
Pengaruh neurobiologis. Kondisi biologis yang memengaruhi
perkembangan janin dan bayi, antara lain (a) malnutrisi, (b) terkena zat
beracun, dan (c) terjadi tekanan sebelum dan saat kelahiran. Kondisi-kondisi
tersebut mengakibatkan tingkat inteligensi anak rendah dan mengakibatkan
keterbelakangan mental. Selain itu, trauma dan infeksi virus saat kehamilan dan
kelahiran juga mengakibatkan keterbelakangan mental. Hal lain yang mengarah
pada keterbelakangan mental adalah (a) penggunaan obat-obatan tertentu saat
hamil, (b) sinar X, (c) tekanan mekanik pada kepala bayi saat proses kelahiran,
dan (d) anoxia saat kelahiran (Verauli, 2006).
Penanganan Anak Autis Usia 2-5 Tahun
Anak autis seharusnya ditangani sejak
dini agar memperoleh hasil terapi yang baik (Handojo, 2009). Perlakuan pada
anak sebaiknya disesuaikan dengan bakat yang dimiliki anak (Lombe, 2007).
Penanganan anak autis usia 2-5 tahun dilakukan dengan (a) menerapkan metode ABA,
(b) masuk kelompok khusus, dan (c) memberi terapi-terapi yang sesuai.
Metode Applied Behavioral Analysis (ABA). Pendekatan metode ABA dilakukan dengan memberikan kehangatan, arahan secara tegas tapi lembut, dan memberikan apresiasi dengan imbalan. Metode ABA dilakukan dengan membentuk kepatuhan, membentuk Kontak Mata (KM), mengajarkan kemampuan meniru, dan kemampuan membantu diri. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengajarkan kemampuan bahasa reseptif (kognitif), kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan pra-akademik, dan kemampuan akademik (Handojo, 2009).
Metode Applied Behavioral Analysis (ABA). Pendekatan metode ABA dilakukan dengan memberikan kehangatan, arahan secara tegas tapi lembut, dan memberikan apresiasi dengan imbalan. Metode ABA dilakukan dengan membentuk kepatuhan, membentuk Kontak Mata (KM), mengajarkan kemampuan meniru, dan kemampuan membantu diri. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengajarkan kemampuan bahasa reseptif (kognitif), kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan pra-akademik, dan kemampuan akademik (Handojo, 2009).
Masuk
kelompok khusus. Anak
autis berbeda dengan anak kebanyakan sehingga memerlukan perlakuan khusus,
seperti masuk Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB merupakan lembaga sosial yang
berfungsi membantu anak yang memiliki hambatan fisik maupun psikis untuk berkembang
dan merasa berarti. SLB memperlakukan dan mendampingi muridnya secara personal
karena setiap murid memiliki tingkat dan jenis keberbakatan yang berbeda.
Pendekatan personal yang sesuai kebutuhan anak akan memberikan anak kesempatan
untuk bereksplorasi dan bereksperimen (“Kudidik diriku demi mendidik anakku,”
2007).
Pemberian
terapi. Beberapa
jenis terapi yang harus dijalankan, yaitu: (a) terapi medikamentosa, dengan
menggunakan obat-obatan untuk memperbaiki komunikasi, respon terhadap
lingkungan, dan gejala-gejala yang tidak wajar; (b) terapi wicara, dengan
memperbaiki kesulitan bicara anak; (c) terapi perilaku, dengan mengubah
perilaku tidak umum menjadi perilaku yang sesuai dengan lingkungan; dan (d)
terapi okupasi, dengan membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat
otot halus terampil (Maulana, 2007).
Belajar dengan bermain. Anak autis sangat menyukai permainan
sehingga metode belajar sambil bermain akan lebih efektif. Permainan yang
dimainkan harus mengikuti standar tertentu agar selain bermain, anak autis juga
melakukan olahraga dan mempertajam sensori integrasi (Malik et al., 2010).
Simpulan
Autisme berarti gangguan perkembangan yang mengakibatkan anak tidak dapat mengomunikasikan dan mengekspresikan keinginannya dengan baik (KBBI, 2008). Penderita autisme mengalami keterlambatan mental atau merupakan orang yang jenius. Beberapa perilaku penderita autisme menyerupai penderita gangguan kepribadian.
Autisme berarti gangguan perkembangan yang mengakibatkan anak tidak dapat mengomunikasikan dan mengekspresikan keinginannya dengan baik (KBBI, 2008). Penderita autisme mengalami keterlambatan mental atau merupakan orang yang jenius. Beberapa perilaku penderita autisme menyerupai penderita gangguan kepribadian.
Sebagian besar penderita autisme
mengalami keterlambatan mental, sedangkan sebagian lainnya merupakan orang yang
jenius. Gangguan autisme biasanya disertai gangguan psikiatrik lain, seperti
sindrom Tourettes, obsesif-kompulsif, dan bipolar. Pada beberapa kasus,
perilaku penderita autisme ringan menyerupai penderita gangguan kepribadian,
seperti schizoid, obsesif, eksentrik
dan tidak wajar. (Maulana, 2007).
Gejala anak-anak penderita autisme
ditandai dengan suka menyendiri dan senang melakukan gerakan aneh, seperti
berputar-putar dan menggoyang-goyangkan badannya secara berirama. Mereka sulit
memusatkan perhatian dan mengontrol emosi sehingga cenderung melukai diri
sendiri. Sikap anak autis sangat cuek, mereka sulit ditebak dan dibujuk, bahkan
oleh orangtuanya.
Ciri-ciri anak autis adalah memiliki
gangguan dalam berkomunikasi, seperti perkembangan bahasa yang lambat dan penggunakan
kata-kata yang tidak sesuai artinya. Bahkan, beberapa anak autis jarang
berbicara. Pada dasarnya, anak yang mengalami keterbelakangan mental juga
tumbuh berkembang seperti anak normal, tetapi mereka sulit mempelajari atau
menguasai sesuatu.
Penyebab
keterbelakangan mental yaitu faktor genetik dan pengaruh neurobiologis. Faktor
tersebut diakibatkan oleh gen dan kondisi biologis ibu sejak kehamilan hingga
kelahiran. Penanganan anak autis seharusnya dilakukan sejak dini, agar dapat
diperoleh hasil yang baik. Perlakuan pada anak sebaiknya disesuaikan dengan
bakat dan potensi yang dimiliki sang anak. Penanganan anak autis usia 2-5 tahun
dapat dilakukan dengan menerapkan metode ABA, masuk kelompok khusus, dan
memberi terapi-terapi yang sesuai.
Saran
Anak autis pada dasarnya sama dengan
anak normal, hanya saja mereka lebih lambat dalam mempelajari sesuatu. Oleh
karena itu, sebaiknya kita tidak menjauhi dan menjelek-jelekan anak autis. Kita
seharusnya bersyukur karena telah diberi hidup normal yang baik.
Untuk orangtua yang memiliki anak autis, sebaiknya menerima dan mendukung penanganan anak, menyayangi dan memotivasi anak, dan tidak memaksakan kehendak untuk memperlakukan anaknya secara normal. Para calon ibu lebih baik tidak mengonsumsi obat-obatan dan lebih menjaga kandungan. Selain untuk terapi anak autis, sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Untuk orangtua yang memiliki anak autis, sebaiknya menerima dan mendukung penanganan anak, menyayangi dan memotivasi anak, dan tidak memaksakan kehendak untuk memperlakukan anaknya secara normal. Para calon ibu lebih baik tidak mengonsumsi obat-obatan dan lebih menjaga kandungan. Selain untuk terapi anak autis, sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Daftar Pustaka
Handojo, Y. (2009). Metode ABA basic. Dalam M. Samuel
(Ed.), Autisme pada anak: Menyiapkan anak
autis untuk mandiri dan masuk sekolah regular dengan metode ABA basic (h.
1-40). Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Lombe, M. (Ed.). (2007). Kudidik diriku demi mendidik anakku. Malang: Dioma.
Malik, B., Mualifah, U., & Sunarti, H. (2010). Laporan penelitian olahraga anak autis di
sekolah laboratotium autism UM (Laporan
penelitian). Diunduh dari Universitas Negeri Malang: https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CC0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fcholip.files.wordpress.com%2F2010%2F06%2Flaporan-penelitian-kegiatan-olahraga-anak-autis-di-sekolah-laboratorium-autisme-um.doc&ei=m8J7UsaZCYGTrgfhooC4DA&usg=AFQjCNHD_lBjJVy5aZPEdsLPwxCw8rYSpg&sig2=e0MFQ7RIvr6ys45tnARsyg&bvm=bv.56146854,d.bmk
Maulana, M. (2007). Autisme dan permasalahannya. Dalam I.
Muhsin (Ed.), Anak autis: Mendidik anak
autis dan gangguan mental lain menuju anak cerdas dan sehat (h. 11-50).
Yogyakarta: Katahati.
Sugiono, D. (Ed.). (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Verauli, R. (2006). Reorientasi pemahaman terhadap
keterbelakangan mental. Dalam S. D. Gunarsa (Ed.), Dari anak sampai usia lanjut: Bunga rampai psikologi perkembangan
(h. 141-163). Jakarta: Gunung Mulia.